Singapura Masih Kelola Wilayah Udara Natuna, Pertahanan Indonesia Keropos

0
585

kabarterkini.co.id, NATUNA – Ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna atau dikenal sebagai Flight Information Region (FIR) Natuna, masih dikelola Singapura. Akibat FIR atau wilayah informasi penerbangan dikelola negara tetangga nan “kaya raya” itu, sektor pertahanan Indonesia dinilai sangat keropos.

Hal itu sesuai diskusi komprehensif rutin, Pusat Studi Air Power Indonesia mengenai masalah-masalah dunia dirgantara. Pertemuan ketiga digelar di Universitas Atma Jaya, Jakarta, salah satunya membicarakan FIR Natuna tak kunjung dikelola Indonesia.

“Pengajuan dan pembahasan dalam lintas Kementerian dan Lembaga sudah cukup lama. Entah mengapa, FIR Natuna belum juga dikelola Indonesia,” ungkap Ketua Pusat Studi Air Power, Chappy Hakim dilansir dari Gatra.com, Rabu 6 Maret 2019.

Dengan tak mengelola FIR sendiri, ujar Chappy, ruang udara di Indonesia terancam ‘diatur’ negara lain (Singapura-red). “Kita harus menyatukan keinginan dan memperjuangkan untuk mengelola FIR Natuna demi kedaulatan, pertahanan dan keamanan serta seluruh aspek penerbangan,” tegas Chappy.

Padahal, menurut Chappy, pengelola Air Traffic Control (ATC) Airnav Indonesia sudah memiliki SDM mumpuni dan siap aksi mengatur FIR. Dengan penyesuaian anatomi udara baru, tak membutuhkan waktu lama bagi Indonesia mengendalikan FIR di negara sendiri.

Sementara, merebut FIR tak hanya menyoal masalah teknis penerbangan dan informasi, tetapi masalah integritas teritorial. Dengan dikuasainya FIR Natuna oleh Singapura, Indonesia terpaksa harus melaporkan berbagai kegiatan penerbangan ke negara dengan luas 716 km2 itu.

Bagi TNI Angkatan Udara, status quo ini berarti tidak ada rahasia dapat disimpan dari Singapura. Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan ATC Singapura, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan penerbangan gelap. Bahkan, menyalakan mesin pesawat harus mendapatkan izin mereka terlebih dahulu.

Keadaan akan menjadi genting ketika ATC Singapura menolak izin terbang pesawat TNI AU atau sipil berbendera Indonesia saat kepentingan nasional mendesak. Jika seperti ini, sektor pertahanan Indonesia terlihat sangat keropos dan mudah disusupi.

Padahal pada September 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan pengambilalihan FIR dipercepat. Instruksi Presiden ditargetkan dapat tercapai dalam tiga atau empat tahun. Lebih cepat dari amanat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menargetkan pengambilalihan FIR paling lama pada 2024.

Namun, pembubaran Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) pada Desember 2014 silam, memperlambat upaya menguasai FIR di negara sendiri.

Jika Indonesia masih belum bisa mengelola FIR sendiri, kata Chappy, sudah pasti negara-negara lain akan ‘semena-mena’ ketika melewati teritorial udara NKRI. “Kita seperti diatur negara tetangga, padahal yang punya rumah kan kita sendiri,” pungkas Chappy.

Kelola Udara Natuna, Singapura Kerja Bakti?

Sekretaris Pertama Kedutaan Singapura – Jakarta Lau Yee Ler, berita infonusantara.co.id sebelumnya, ‍‍‍memuat tanggapan Lau pada Redaksi Kompas.com terhadap opini Ketua Air and Space Law Studios Universitas Prasetya Mulya, Ridha Aditya Nugraha. Lelaki terlihat dari profil cukup muda itu menulis opini berjudul: “Menyoal Ribut-ribut di Langit Kepulauan Riau dan Natuna”, Selasa 27 Februari 2018.

Sosok Ridha, punya segudang pengalaman, jabatan dan prestasi di wilayah udara dan angkasa, antara lain, Manajer Riset Air Power Center of Indonesia. Anggota German Aviation Research Society, Bonn. Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden dan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP.

Sekarang ia berkarya mengembangkan Hukum Udara dan Angkasa, serta menggagas Space Entrepreneurs di Universitas Prasetiya Mulya. Dosen tamu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg.

Menurut Ridha, hingga saat ini di teras rumah Indonesia, yakni ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna, atau di kenal sebagai FIR Natuna, masih di kelola Singapura. Sejarah panjang penunjukan Singapura mengelola ruang udara kabupaten perbatasan laut dengan beberapa negara Asean itu, oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).

Karena Singapura masih jajahan Inggris dan Indonesia muda belia tengah sibuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Alhasil, Indonesia absen ikut sidang ICAO di Irlandia pada 1946. Akhirnya, Inggris di tunjuk sebagai pengelola FIR Natuna.

Saat itu, pengelolaan FIR Natuna merupakan suatu beban bagi negara, mengingat belum banyak pesawat melintasi kawasan udara itu. Pelayanan navigasi di selenggara lalu lintas penerbangan tak ramai. Namun tujuh puluh tahun berselang, FIR Natuna menjelma menjadi ruang udara tersibuk di dunia.

Rute Jakarta – Singapura, merupakan, rute internasional paling ramai, bahkan melampaui rute “gemuk” London – Paris. Sebab letak FIR Natuna sangat strategis, banyak penerbangan lain, melintas guna mencapai Benua Asia maupun Australia.

Setiap pesawat melintas, dikenai pungutan, di kenal sebagai Route Air Navigation Service Charges. Pungutan (charges) ketimbang pajak (taxes), di maksud agar pemasukan dari pelayanan navigasi ruang udara dikembalikan untuk fungsi sama. Hal lumrah dan berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia, pungutan itu masuk ke kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kasus FIR Natuna, jumlah pendapatan pertahun mencapai jutaan dollar AS. Sayang, Indonesia hanya mendapatkan “uang sewa” dari Singapura. Ibarat hanya sepotong kue kecil. Bayangkan, betapa besar potensi PNBP, jika FIR Natuna dikelola Indonesia secara profesional.

Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar pengambilalihan pengelolaan ruang udara itu dipercepat pada September 2015. Instruksi Presiden di tafsir, agar dapat tercapai dalam waktu tiga atau empat tahun. Tepatnya lebih cepat dari amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, target paling lama pada 2024.

Mengingat FIR Natuna telah menjadi salah satu tambang emas di udara. Sangat logis Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan pengambilalihan secepat mungkin. Namun pembubaran DEPANRI pada Desember 2014, memperlambat upaya itu.

Baik di sadari maupun tidak, absennya DEPANRI telah mengorbankan waktu. Sehingga kementerian mana yang tepat menjadi leading sektor mengkaji, karena kehilangan instrumen meredam timbul ego-sektoral selama proses berlangsung.

Isu pertahanan, kedaulatan ekonomi dan hukum

Bagi TNI Angkatan Udara, tulis Ridha, status quo berarti tak ada rahasia dapat di simpan dari Singapura. Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan ATC negara tetangga itu, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan penerbangan gelap.

Bahkan, menyalakan mesin pesawat harus mendapatkan izin Singapura terlebih dahulu. “Lantas bagaimana kita dapat menangkap penerbangan gelap dilakukan militer Singapura?” tanya Ridha.

Keadaan akan menjadi lebih genting, tulis Ridha, ketika ATC Singapura menolak izin terbang pesawat TNI Angkatan Udara atau sipil berbendera Indonesia saat kepentingan nasional mendesak. Maka, tidak salah bila mendalilkan sektor pertahanan di teras rumah Indonesia, nyatanya begitu keropos.

Imbas lain, penundaan penetapan Air Defense Identification Zone (ADIZ) di teras Indonesia, tepatnya langit Natuna. Saat ini, keberadaan ADIZ Indonesia tengah di kaji ulang. Tanpa kontrol efektif atas ruang udara, penetapan ADIZ akan melanggar norma internasional, serta berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan.

Jika di paksa, maka berpotensi menjadi senjata makan tuan. Urgensi pengambilalihan FIR Natuna tidak semata-mata di dasari perputaran uang semakin besar. Ketertiban umum terpicu saat salah satu sendi asasi negara, yakni kedaulatan ekonomi, (pengelolaannya) dikuasai asing.

Tentunya, ketertiban umum Indonesia tidak terpicu dalam semalam. Kondisi akan berbeda, bila di banding setengah abad silam ketika pendapatan di langit Kepulauan Riau dan Natuna tidak sesignifikan saat ini. Persoalan tak kalah penting, tanggungjawab (liability) siapa, seandainya terjadi kecelakaan penerbangan sipil di langit Indonesia di kelola Singapura?

Pendelegasian pengelolaan ruang udara bukan berarti otomatis pelimpahan tanggungjawab. Instrumen perundang-undangan dan perjanjian bilateral perlu, guna melindungi Indonesia. Insiden Uberlingen pada 2002 silam dapat menjadi acuan, di mana kecelakaan pesawat terjadi di ruang udara Jerman di kelola Swiss.

Saat itu, pengadilan setempat sampai menelusuri perjanjian bilateral Jerman-Swiss guna membuat putusan atas gugatan diajukan para keluarga korban. Perspektif pertahanan, kedaulatan ekonomi, maupun hukum telah berjalan selaras saat ini.

Tak ada alasan mempertanyakan urgensi Instruksi Presiden per-September 2015, atau menggunakan dalil klasik, Undang-Undang Penerbangan mengamanatkan paling lambat pada 2024. Atau lantas tidak perlu terburu-buru.

Jangan pula menyebut, seharusnya tak ada masalah mengingat Indonesia juga mengelola sebagian ruang udara negara tetangga, tepatnya di atas Christmas Island. Pendelegasian Australia adalah pelimpahan beban. Bukan pendapatan, mengingat tak banyak pesawat melintas. Maka, sangat tidak selaras jika di padan dengan pendelegasian pengelolaan langit Kepulauan Riau dan Natuna.

Akhir kata, penyelenggaraan kegiatan penerbangan seyogianya dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, termasuk bagi Singapura dan Malaysia. Singapura menggantungkan pendapatan dari hub and spoke atau transit di Changi. Sedangkan Malaysia membutuhkan kepastian tersambungnya wilayah barat dengan timur, melalui jalur udara, tepatnya bagi penerbangan non-sipil.

Menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk menjamin dua hal krusial itu guna memuluskan pengambilalihan wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna. Muncul suatu pertanyaan, apakah berlama-lama mempertahankan status quo dapat di kategori sebagai wujud baru korupsi, mengingat besarnya potensi kehilangan pendapatan negara? “Jika waktu menjawab demikian, maka ranah korupsi telah bergeser menuju ruang udara,” tulisan pemungkas Ridha.

Lau Yee Ler menjawab opini Ridha, dengan alasan Ridha punya pandangan sendiri, atas masalah ini. “Kami menerangkan, komentar Bapak Ridha berisi ketidakakuratan mengenai manajemen Singapura terhadap Wilayah Informasi Penerbangan Singapura/Singapore FIR,” tulis Lau.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍
Kontrol Lalu Lintas Udara Singapura atau ATC menyediakan layanan navigasi udara dan mengelola semua penerbangan sipil didalam FIR tanpa diskriminasi. Hal ini untuk menjamin keamanan dan efisiensi lalu lintas sipil.

Apabila ada kebutuhan berkoordinasi antara ATC Singapura dan pesawat terbang milik Indonesia, ATC Singapura secara konsisten memfasilitasi penerbangan itu segera, demi keselamatan pesawat sipil. ‍‍‍‍‍‍ ‍‍
‍‍‍‍‍‍ ‍‍
Sebagian besar otoritas FIR mengenakan biaya atas Route Air Navigation Services (RANS) kepada maskapai penerbangan untuk membiayai penyediaan layanan navigasi udara. Bagi FIR Singapura tak pernah menahan biaya RANS telah terkumpul.

Singapura mengumpulkan biaya RANS atas nama Indonesia. Lalu biaya itu di setor secara penuh kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU) Indonesia, dikurangi biaya transfer antar bank standar.

Rapat rekonsiliasi mengenai biaya RANS diadakan secara rutin pihak DJPU Indonesia dan Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS). DJPU Indonesia juga mengakui, rekening itu sesuai. Biaya RANS tak dikenakan di wilayah Natuna. (*andi surya)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini