Problema Belajar Daring di Lhokseumawe, Ditengah Pandemi Covid-19 

0
836
ILUSTRASI (foto istimewa)

LHOKSEUMAWE, KABARTERKINI.co.id – Sekolah dalam jaringan (daring) atau online ditetapkan pemerintah guna menghindari meluasnya penyebaran Corona Virus Disease-2019 (Covid-19), ternyata hanya bisa dilakukan beberapa kalangan. Selebihnya orang tua para pelajar keberatan, dengan alasan ekonomi atau jaringan internet.

Padahal, sejak awal Maret, hingga saat ini atau hampir delapan bulan pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, selama itu pula para pelajar dirumahkan. Mereka tidak bisa bersekolah seperti biasa, dikhawatirkan akan menambah parah penyebaran virus mematikan tersebut. Hal itu tentu berdampak bagi jutaan pelajar, mereka tidak bisa mengikuti proses belajar.

Sementara kebijakan belajar daring, sampai saat ini belum semua didapatkan anak-anak Indonesia. Terlebih bagi kalangan ekonomi menengah kebawah serta masyarakat pedesaan minim jaringan internet.

Fauziah (48), salah satu orang tua di Lhokseumawe misalnya, mengaku kewalahan mempersiapkan sekolah anak bungsunya yang duduk di kelas 2 SLTP. Mengingat, awalnya pihak sekolah hanya meliburkan beberapa minggu tanpa ada pengganti maupun tugas. Ia pun sangat paham karena wabah pada waktu itu mulai menyebar.

“Sempat takut kalau anak saya tertular. Tetapi lama kelamaan, saya kewalahan mengurus pelajarannya. Sebab harus membagi waktu, antara mengajar dan bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, begitupun suami,” ujar wanita paruh baya itu pada Kabarterkini.co.id, kemarin.

Setelah beberapa minggu tidak sekolah tanpa kejelasan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 36962/MPK.A/HK/2020, agar seluruh kegiatan belajar mengajar baik di sekolah maupun perguruan tinggi menggunakan metode daring.

Tempat anak bungsu Fauziah sekolah pun mengharuskan mengikuti proses belajar daring melalui gadget. Solusi lumayan bagus akan tetapi ia terkendala gadget. Mengingat di rumahnya ponsel berbasis android hanya satu unit. Yang digunakan sang suami.

Jika harus membeli gadget baru, Fauziah dan keluarga belum mampu. Maklum, ia hanya pedagang buah di pasar Inpres Lhoksemawe. Penghasilan dalam sehari tidak menentu. Begitupun suami tidak bisa bekerja karena pandemi Covid-19.

Herman (51), sang suami, biasa bekerja sebagai petugas security disalah satu perusahaan distributor di Lhokseumawe. Kota berada persis di tengah-tengah jalur sumatera, yakni antara Banda Aceh dan Medan.

Akan tetapi karena pandemi, perusahaannya bekerja melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan sebagian karyawan di rumahkan tanpa upah. Suaminya pun berusaha mencari rezeki lain. Dengan menjadi driver ojek online. Penghasilannya hanya sekitar Rp2 juta perbulan.

Saat ini, terpaksa sang suami harus rela berbagi menggunakan gadget bersama anaknya. Agar sang buah hati dapat mengikuti proses belajar daring yang terapkan pemerintah dimasa pandemi.

Namun persoalan baru timbul, sang suami baru bisa bekerja ketika anaknya telah selesai mengikuti proses belajar. Persoalan lain, kouta internet menjadi masalah besar bagi mereka.

Pasalnya pendapatan Rp2 jutaan perbulan, hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih serba kekurangan, kini di tambah harus menyisihkan uang dua kali lipat untuk kouta internet. Jika sebelum pandemi, hanya butuh Rp75 ribu atau Rp125 ribu perbulan. Sekarang harus menyiapkan uang kisaran Rp250 ribu perbulan.

Sementara itu, Muhammad Aldi (15), pelajar kelas 2 di salah satu SLTP mengaku kewalahan sinyal internet ditempat tinggalnya. Terkadang ketika kelas dimulai, Aldi terlambat online, karena tiba-tiba sinyal dirumah buruk. Saat pertengahan pelajaran, sinyal menghilang.

“Sekolah online awalnya enak karena bisa libur, tapi lama kelamaan merasa bosan. Terlebih tempat saya tinggal, tidak seperti tempat lain, kesulitan sinyal internet,” cerita Aldi tampak matanya berkaca-kaca. (*fadhil)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini