Jalan Tengah TNI

0
297

Catatan: Dhimam Abror Djuraid

TENTARA Nasional Indonesia atau TNI berulang tahun ke-77 pada Rabu 5 Oktober 2022. Pasukan pertahanan dan keamanan itu, mempunyai sejarah sendiri yang membentuknya menjadi kekuatan khas. Sejak masa perang hingga awal kemerdekaan, TNI tidak terpisah dari masyarakat sipil. Keduanya menjadi kekuatan yang menyatu dan tidak dikotomi sipil-militer. Tidak ada supremasi sipil atas militer atau sebaliknya.

Hubungan kedua kekuatan ini berdasarkan saling menghormati, saling memercayai peran dan kekuatan masing-masing. Konsep power atau kekuasaan di Indonesia didasari konsep Jawa yang menekankan kemanunggalan kawula dengan gusti. Konsep manunggaling kawula gusti diterapkan sebagai penyatuan antara penguasa dan rakyat.

Konsep power itu juga diadopsi TNI dalam hubungannya dengan rakyat. Pada masa perang kemerdekaan, TNI manunggal dengan rakyat dalam melakukan perang gerilya. Dengan menyatu bersama rakyat, TNI bisa merebut kemenangan dari penjajah. Konsep manunggal dalam perang gerilya ini yang kemudian diformulasikan menjadi ‘’Jalan Tengah’’ oleh Jenderal A.H Nasution setelah kemerdekaan.

Dengan jalan tengah itu, TNI tidak hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi menjadi kekuatan sosial politik yang ikut berkiprah dalam pemerintahan. Konsep jalan tengah dari filosofi manunggal ini kemudian dikenal sebagai ‘’Dwifungsi’’ pada masa Orde Baru.

Jenderal Nasution mendesain TNI sebagai kekuatan politik yang berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator. Ketika itu, Presiden Soekarno dengan konsep Orde Lama-nya, ingin merangkul semua kekuatan politik di Indonesia menjadi satu kekuatan tunggal di bawah sistem demokrasi terpimpin. Pada bagian lain, Bung Karno memperkenalkan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) untuk menggabungkan semua unsur kekuatan politik yang dominan di Indonesia.

Dengan Nasakom Bung Karno menggabungkan ideologi nasionalisme diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI). Agama diwakili Partai Nahlatul Ulama (NU). Komunisme diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun dalam perjalanan, PKI tumbuh menjadi partai kuat dan militan. Sehingga Bung Karno semakin dekat dengan PKI. Hal ini menimbulkan kegalauan di kalangan tentara.

Nasution sebagai pemimpin Angkatan Darat berusaha mengimbangi kekuatan PKI dengan semakin aktif memainkan peran-peran politik. Persaingan politik antara PKI dengan Angkatan Darat memuncak pada usaha percobaan kudeta 30 September 1965 yang melibatkan PKI atau di kenal G30S PKI. Pembunuhan 6 Jenderal dan perwira Angkatan Darat menjadi alasan memburu para anggota PKI oleh kelompok Islam yang didukung Angkatan Darat.

Bung Karno akhirnya jatuh pada 1967, dan digantikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden. Yang sebelumnya, berhasil mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dari tangan Nasution setelah peristiwa 30 September. Soeharto dengan pelan namun pasti melakukan konsolidasi, membersihkan sisa-sisa PKI, dan menempatkan orang-orangnya dari Angkatan Darat pada posisi-posisi kunci.

Soeharto berkuasa sebagai Presiden sampai 32 tahun lamanya. Ia melakukan reorientasi terhadap TNI dengan mengubahnya menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Warisan jalan tengah dari Jenderal Nasution diterapkan dengan lebih dominan. ABRI menjadi kekuatan politik, sekaligus menjadi penopang utama Orde Baru.

Sebagai orang Jawa, Soeharto menerapkan filosofi Jawa yang diadopsi dari kisah-kisah pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Konsep pengabdian prajurit ABRI disamakan dengan pengabdian seorang ksatria kepada negaranya. Pengabdian ini disebut sebagai darma harus dijalani sebagai bagian dari kewajiban hidup. Dalam tradisi Barat konsep darma diartikan sebagai konsep ‘’right or wrong my country’’ (benar atau salah tetap membela negara). Karena bela negara adalah bagian dari darma.

Beberapa episode dari Mahabharata diambil sebagai contoh untuk menggambarkan bakti seorang ksatria kepada negara. Dalam perang Bharatayuda antara Kurawa melawan Pandawa terdapat episode ketika sesama saudara harus saling membunuh. Kurawa dan Pandawa berasal dari keturunan yang sama, tetapi kemudian terlibat intrik dan persaingan politik sehingga terjadi permusuhan yang membawa pada peperangan besar.

Dalam sebuah episode, Arjuna menjadi panglima Pandawa dipaksa berperang melawan panglima Kurawa, Adipati Karna, yang tidak lain saudara sepupunya sendiri. Adipati Karna seorang ksatria jujur dan lurus. Ia bersedia mati membela Kurawa karena ia hidup dan dibesarkan di negara itu. Ia siap berperang sampai mati menghadapi saudara-saudaranya sendiri dari Pandawa.

Di sisi lain, Arjuna gundah gulana karena tidak tega melawan saudara sepupunya. Maka Batara Krisna yang menjadi penasihat strategis dan spiritual Pandawa berusaha meyakinkan Arjuna untuk mengutamakan darma daripada saudara. Krisna mendampingi Arjuna ke palagan perang dan menjadi sais kereta perang ditumpangi Arjuna.

Dari keyakinan darma yang diajarkan Krisna, Arjuna akhirnya bersedia berperang melawan Adipati Karna dan membunuhnya. Seorang ksatria, kata Krisna, harus setia kepada negara ketimbang kepentingan pribadi dan keluarga. Filosofi ini ditanamkan Soeharto kepada prajurit ABRI, supaya mengutamakan darma kepada negara meskipun itu harus dilakukan dengan membunuh saudara sendiri. Filosofi itu membawa rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun.

Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi 1998. Salah satu yang menjadi incaran gerakan reformasi adalah mengebiri ABRI dari peran politik dan mengembalikannya ke barak sebagai tentara profesional. ABRI kembali direorientasi menjadi TNI dan dibuat benar-benar steril dari politik. Absennya TNI dari politik dalam 20 tahun terakhir melahirkan supremasi sipil yang penuh dinamika. Pada era Presiden Joko Widodo, supremasi sipil melahirkan koalisi besar pendukung pemerintahan.

Koalisi politik besar ini melakukan koalisi dengan kekuatan bisnis yang sering disebut sebagai oligarki. Rezim Jokowi dianggap tidak memberi ruang cukup bagi demokrasi dinamis. Sementara TNI, secara historis selalu ikut aktif dalam percaturan politik, dipaksa menepi dari kancah politik nasional.

TNI harus menanggung dosa politik akibat keterlibatannya pada rezim Orde Baru Soeharto selama 32 tahun. Masyarakat sipil di Indonesia, terutama kalangan liberal memahami posisi historis TNI dengan perspektif berbeda. Sehingga berusaha melepas TNI dari ikatan historis yang sudah melekat sebagai bagian kesejarahan. Dengan perspektif liberal itu, TNI dikembalikan ke barak dan diharamkan menyentuh ranah politik, sebagaimana yang terjadi di Eropa dan Amerika.

Sejarah tentara Eropa dan Amerika berbeda dengan Indonesia. Masing-masing punya tradisi sejarahnya sendiri. Mengadopsi begitu saja konsep Eropa dan Amerika tentu tidak mudah dan membutuhkan penyesuaian. Kendati demikian, selama era reformasi, TNI telah menunjukkan konsistensinya sebagai tentara profesional yang menjauh dari politik.

Dinamika terjadi di tubuh TNI harus dipahami sebagai bagian dari penyesuaian tradisi lama menuju tradisi baru. Dari kacamata eksternal, dinamika hubungan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan KSAD Jenderal Dudung Abdurahman terlihat sebagai persaingan politik dan perang bintang di antara elite TNI. Tetapi pada akhirnya insiden itu diselesaikan ‘’secara adat TNI’’. Dua Jenderal itu menempatkan kepentingan darma di atas kepentingan pribadi. Dirgahayu, TNI. ****

(Dhimam Abror Djuraid, Wakil Ketua Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia/SMSI)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini