Biomassa Sektor Kelistrikan PLN, Akademisi UGM: Bisa Bersaing dengan Pasar Internasional

0
359
SEORANG pegawai PLN menunjukan salah satu bahan biomassa kelistrikan (foto istimewa)

BADUNG, KABARTERKINI.co.id – Biomassa adalah sumber daya energi tersedia cukup besar di bumi Indonesia. Yang merupakan sumber terbarukan memiliki karakteristik continuous, sustainable, serta lebih terjamin.

Pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi, dapat dimanfaatkan langsung dengan menghasilkan energi listrik melalui berbagai proses, salah satunya co-firing. Di mana biomassa digabungkan di pembangkit berbahan bakar fosil, batubara.

Akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Tumiran mengatakan, keuntungan biomassa tidak memerlukan pembangunan pembangkit baru. Upaya co-firing di lingkungan PT PLN (Persero) perlu dihargai dan diapresiasi sebagai upaya percepat pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Agar kontribusi EBT di dalam bauran energi nasional dapat terus ditingkatkan.

Sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional, tujuan target 23 persen konstribusi EBT pada 2025, yakni menciptakan kemandirian energi dan menciptakan lapangan kerja baru sektor energi. Otomatis konstribusi EBT memberikan dukungan pertumbuhan ekonomi, penguasaan teknologi dan penciptaan lapangan kerja baru.

Pilihan akselerasi penggunaan Biomassa di PLTU PT PLN, adalah pilihan sangat tepat. Hal ini diharapkan dapat menggairahkan ekonomi masyarakat dan potensi lokal dapat berkembang.

Jadi biomassa nasional bisa bersumber dari berbagai varians, misalnya sisa kayu olahan, atau pengembangan tanaman energi dan memanfaatkan sampah sisa olahan masyarakat.

“Skenario dan upaya mendapatkan biomassa dalam jumlah besar tidak mudah. Tantangannya antara lain menyangkut regulasi pricing dan peran pemerintah perlu memberikan perhatian lebih,” kata Tumiran melalui keterangan tertulis, Ahad 3 Juli 2022.

Pengembangan biomassa meningkatkan pemanfaatan EBT, menurutnya, perlu kebijakan yang mendukung. Karena pemanfaatan biomassa pada sektor kelistrikan PLN kini bersaing dengan pasar internasional. Sebab harga wood pellet sebagai bahan baku biomassa lebih mahal jika diekspor ketimbang dijual di dalam negeri.

“Saya dengar PLN sudah susah berkompetisi mendapatkan hasil gergajian, karena apa? Dibuat dalam bentuk pelet oleh pengembang, kemudian diekspor. Karena harga pelet di pasar internasional lebih mahal dari pada dalam negeri,” kata Tumiran.

Kondisi ini, sambungnya, harus mendapat perhatian pemerintah agar keberlanjutan pengembangan biomassa tetap terjaga. Dengan membuat regulasi agar pemanfaatan di dalam negeri tetap menarik.

“Bagaimana cara mengatur supaya pelet bekas gergajian ini bisa kompetitif di dalam negeri,” ujar sambil melanjutkan, untuk biomassa bahan bakunya berasal dari sampah juga membutuhkan peran pemerintah. Sehingga masyarakat memilah sampah yang cocok dijadikan biomassa.

“Bagaimana kesadaran masyarakat mengatur sampah. Tapi apakah kesadaran masyarakat bisa tumbuh sendiri? Nggak bisa, perlu peran pemerintah mengaturnya,” ujar Tumiran.

“Di mana-mana saya ke Jepang, ke Korea, ke Swedia memang pemerintahnya campur tangan dalam mengolah sampah. Tidak bisa pengolahan sampah diserahkan ke pengusaha. Pemerintah mengatur pengusaha bisa memanfaatkan bagian yang bermanfaat,” katanya lagi.

Tumiran mengungkapkan, pemanfaatan sampah untuk energi pun masih sulit karena banyak hambatan, salah satunya adalah perbedaan persepsi tentang biaya pengolahan dikeluarkan Pemerintah bagi badan usaha.

“Ada anggapan kalau dikasih tipping fee side produknya jadi listrik pemerintah memberikan subsidi pengusaha, kesannya demikian” tuturnya sambil menyarankan, harga biomassa sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan harga batubara, seperti DMO ditetapkan pemerintah.

“Walaupun tidak harus mengikuti mekanisme pasar Internasional, tetapi cara penentuan harga memperhatikan basic cost yang dapat dihitung. Misalnya untuk pengembangan hutan tanaman energi, ada struktur cost yang dapat dihitung untuk menentukan kelayakan harga bio-masa kayu sebagai energi,” papar Tumiran

Cara lain adalah dengan penerapan elastisitas pada tarif untuk kelompok pelanggan mampu. Adanya konstribusi biomassa sebagai EBT bila berkonstribusi terhadap kenaikan BPP, maka kenaikan tersebut dapat di pass-through ke tarif kelompok pelanggan mampu sebagai delta perubahan tarif. Cara penerapan ini berlaku di beberapa negara, contohnya di Thailand. (*andi surya)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini