Anggota Dewan Jangan Minta Fee dari Kegiatan Aspirasi

0
1037
FOTO ilustrasi

Catatan: Andi Surya

POKIR atau pokok-pokok pikiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) merupakan aspirasi masyarakat yang dititipkan kepadanya. Agar aspirasi itu diperjuangkan dalam pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah.

Sebenarnya Pokir memiliki landasan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 29, fungsi anggaran anggota Dewan. Yang diperkuat Pasal 104, anggota Dewan memiliki kewajiban memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pasal 108 butir (i), aspirasi dihimpun dari konstituen saat kunjungan kerja berkala atau reses.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib, Pasal 54 bahkan mengamanatkan atau memerintahkan Badan Anggaran Dewan memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran.

Namun, meskipun memiliki kewenangan menyerap aspirasi masyarakat, anggota Dewan tidak boleh meminta fee dari rekanan atau dinas teknis pelaksana kegiatan Pokir. Atau kegiatan itu, dikelola langsung anggota Dewan dengan menggunakan rekanan “bayangan”.

Mengingat anggota Dewan telah memperoleh anggaran cukup lumayan besar dari pemerintah, seperti tunjangan aspirasi, tunjangan komunikasi, tunjangan perumahan, anggaran reses dan berbagai macam bentuk anggaran lainnya.

Secara hukum, meminta fee atau mengelola langsung kegiatan dari hasil aspirasi masyarakat jelas bermasalah. Setidaknya lima undang-undang berpotensi di tabrak, yakni: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Mengingat seluruh ketentuan undang-undang itu pada intinya menegaskan, lembaga legislatif atau anggota Dewan bukan pengelola keuangan negara atau daerah, dan bukan pelaksana pembangunan, melainkan pembuat kebijakan serta pengawas pelaksanaan kebijakan dijalankan pemerintah.

Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 butir (e) tertulis, dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar, bila pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Butir (i), pegawai negeri atau penyelenggara negara, baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. ****

(Penulis Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan KABARTERKINI.co.id)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini