Ransomware, Siapa Berani Lawan?

0
2414

Oleh: Laksamana Sukardi

KETERGANTUNGAN terhadap internet dalam kehidupan sehari-hari serta kegiatan penyelenggaraan negara akan semakin besar kedepannya. Demikian juga ancaman terhadap cyberattacks dalam bentuk apapun termasuk ransomware atau bajak internet.

Sementara bajak internet berbeda dengan bajak laut yang bisa dicegah dengan menempatkan pengawal bersenjata didalam kapal. Bajak internet atau ransomware tidak nampak secara fisik dan serangan dilakukan dari segala penjuru.

Semakin canggih sistim cyber security diterapkan, akan semakin canggih pula ransomware. Sehingga membuat banyak organisasi pengguna internet, seperti perusahaan-perusaahaan industri dan jasa bahkan organisasi nirlaba menjadi korban.

Karena mereka hanya sebagai user bukan developer software. Mereka tidak secanggih para hackers pada umumnya anak anak muda yang sangat cepat belajar dan bergerak. Apalagi jika dibandingkan dengan organisasi pemerintah atau birokrat pada umumnya lambat dan tidak memiliki motivasi tinggi.

Jadi hackers melakukan infiltrasi kedalam server dan sistim internal, lalu incryption atau acak data terhadap informasi penting. Kemudian meminta imbalan (uang tebusan) dalam bentuk mata uang crypto. Selanjutnya diuangkan di bursa China.

Dalam perang cyber serangan dilakukan dengan melakukan take down atau mematikan sistim operasi instalasi penting, seperti listrik, distribusi minyak, bahkan sistim operasi perbankan. Rusia pernah melakukannya dengan mematikan operasi pembangkit listrik di Ukraina.

Selain itu kita sulit melacak sumber serangan karena Internet Protocol atau IP address (alamat penyerang) yang diacak secara canggih. Peluang bisnis ransomware semakin mengiurkan dalam era digital. Bahkan Korea Utara, sejak mengalami sangsi pemboikotan negara-negara barat, mereka merespon dengan membangun pasukan dinamakan Cyber Warrior. Miri Collegge dan Kim Il Sung Military University melatih 1000 Cyber Warriors setiap tahun. Pada umumnya mereka menyerang perusahaan besar dan UKM serta organisasi penting di Korea Selatan.

Menurut Intelijen Korea Selatan, pengeluaran mereka membayar ransomware pada 2020 sebesar US$1,8 billion (kurang lebih Rp30 triliun). Meningkat 18 kali lipat dalam 5 tahun. Sedangkan menurut Komite Pemberian Sangsi terhadap Korea Utara di PBB, penghasilan Korea Utara dari ransomware mencapai US$316 juta pertahun.

Jumlah ini tidak dapat diverifikasi karena membutuhkan kerja sama dengan China (Sumber Nikei Asia research). Peningkatan serangan bajak internet juga terjadi di Inggris. Lebih dari 2,3 juta serangan terjadi pada 2023. Perusahaan-perusahaan konglomerat dunia pernah menjadi korban ransomware, diantaranya pabrikan mobil Honda dari Jepang. Yang mengakibatkan operasi pabrik mereka di Ohio dan Brazil ditutup selama tiga hari.

Selain itu operasi pabrik mobil Honda dibeberapa negara yaitu Jepang, Turki, Itali dan Inggris juga mengalami gangguan. Pada 2020, Picanol, perusahaan weaving machine maker dari Belgia harus menghentikan operasinya di China dan Eropa. Di Australia, bahkan perusahaan besar produksi baja Blue Scope pernah kena serangan ransomware.

Fresenius perusahaan besar operator rumah sakit terkemuka di Eropa mengalami serangan bajak internet yang mengganggu pelayanan cuci darah terhadap pasien di rumah sakit. Cyberattacks meningkat sangat drastis dari tahun ke tahun.

Kerugian keuangan akibat ransomware meningkat 270 persen selama tiga bulan pada 2020. Dengan jumlah sebesar US$8,4 milyar (Rp140 triliun). Jumlah tersebut sebenarnya jauh lebih besar karena banyak perusahaan-perusahaan global yang kena ransomware tidak melaporkan kasusnya dan lebih cenderung membayar uang tebusan (ransom) secara diam-diam.

Karena hal tersebut dianggap jauh menguntungkan daripada kehilangan pasar dan penurunan harga saham serta integritas keberlangsungan usaha mereka jauh lebih besar ketimbang jumlah uang tebusan diminta. Kejadian akhir-akhir ini di Indonesia yang mengalami serangan ransomware di Pusat Data Nasional (PDN), Imigrasi, Badan Intelijen Strategis, dan NAFIS Polri telah membuktikan bahwa Indonesia telah menjadi mangsa empuk para bajak Internet mencari uang.

Kelemahan keamanan siber telah terdeteksi para hackers. Karena kita tidak memiliki fire wall system canggih dan di update terus menerus. Serangan siber jangan dianggap enteng, karena bersifat insidious atau mematikan dan menyebar secara cepat dalam waktu singkat. Teknik digunakan dalam cyberattacks semakin canggih dengan berjalannya waktu.

Big data setiap negara telah menjadi bentuk baru kekayaan penting sebuah negara yang harus dilindungi secara nasional. Big data jauh lebih berharga dari kekayaan sumber daya alam nasional. Respon kita terhadap serangan cyber saat ini harus dianggap serius dan membutuhkan perhatian seluruh unsur penguasa dan stakeholders yang kurang paham terhadap pentingnya perlindungan aset data nasional yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi dan kegiatan pengelolaan pemerintah.

Seharusnya kita sudah mulai sadar dan waswas sejak dua puluh tahun lalu. Dengan memanfaatkan kejadian ini dengan meminta Menteri Kominfo turun kurang tepat dan tidak memberikan solusi jangka panjang. Semua pemangku kekuasaan pernah berkuasa dan mengabaikan cyber security untuk pengamanan data nasional harus turut bertanggungjawab.

Prioritas harus diberikan dalam bentuk alokasi anggaran oleh DPR RI dan pemerintah, apakah kita akan menunggu sampai dana masyarakat dalam sistim perbankan hilang karena perbankan berhenti beroperasi akibat serangan ransomware? **

Update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari KABARTERKINI.co.id. Ayo bergabung di Facebook dan Instagram KABARTERKINI.co.id, atau klik link https://www.kabarterkini.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini